Mandalawangi Pangrango Maret 21, 2008
Posted by Afra Afifah in Sang Pujangga.Tags: Soe Hok Gie
trackback
Senja itu,
Ketika matahari turun ke dalam jurang-jurangmu
Aku datang kembali ke dalam ribaanmu
Dalam sepimu dan dalam dinginmu
Walau setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna,
Aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan,
Dan aku terima kau dalam keberadaanmu
Seperti kau terima dalam daku
Aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi
Sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada,
Hutanmu adalah misteri segala
Cintaku dan cintamu adalah kebisuan semesta
Malam itu,
Ketika dingin dan kebisuan menyelimuti Mandalawangi,
Kau datang kembali berbicara padaku
Tentang kehampaan semua
Hidup adalah soal keberanian,
Menghadapi tanda tanya tanpa kita mengerti
Tanpa kita bisa menawar
Terimalah dan hadapilah
Dan diantara ransel-ransel kosong dan api unggun yang membara
Aku terima ini semua
Melampaui batas hutan-hutanmu
Melalui batas-batas jurangmu
Aku cinta padamu, Pangrango
Karena aku cinta pada keberanian hidup
~*Soe Hok Gie*~
[19 Juli 1966]
waahh Soe Hok Gie…..
seorang pujangga puitis ditambah anak MAPALA
gw rada2 kurang suka seeh tapi klo tulisan tentang :
“Lebih baik Terasing daripada menyerah dalam kemunafikan”
= kata2 yang gw ambil klo gw lage ngerasa insecure dan gak comfort dengan lingkungan kampus yang rada hedon
itu yang gw suka kata2 Soe Hok Gie
“Lebih baik Terasing daripada menyerah dalam kemunafikan”
dari awal bacanya kok puisinya agak2 gw bgt…
rupanya soe hoek gie…
asik bgt tu orang…
salam funky…
😛
..ah, catatan harian seorang demonstran.. kalo aja adik pak arief budiman itu bukan hanya mencintai Pangrango, mungkin Mahameru tidak akan cemburu dan membunuhnya…sungguh ironis..
..wah.. NRP-nya Gie di-wariskan ?… weks.. masya sih ?.. nggak sistem increment ya kalo di ui ?.. 😀
mgkn aku trkadang kena kontaminasi nya, af…
ah, kmaren2 jg enko yg ngomong gw2 lo2 smpe ws ngerasa pusing…
koreksi tuk anak priok….
“lebih baik saya diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan”
iseng boleh gak….
Mandalawangi, 3 Desember 2006
Kabut mulai turun lagi ke lembah ini
Aroma basah tanah, dan hijau lumut terbawa angin
Eddelweissku belum lagi mekar
Tapi kecupan hangat sang embun pun menenangkanku
Hanya aku
Sejenak memahami keheningan
Seakan mendengar alamMu berdzikir
Haru tawa, tangis bahagiamu hadir disini, terbang dihantar malaikat pagi
Terbaring disampingku, berceloteh segalanya
Bagaimana aku tak jatuh
Kuncup pun mekar saat kau sentuh
Memupus asa, menjemput harapan
Kepadamu bidadari kurindukan
Tanahku telah mengering
Telah kutinggalkan jejakku
Garis cakrawala menyiratkan harapan
Kuayunkan langkahku dan berbisik
Aku masih hidup…
kapan yah saya bisa kesana lagi….
hiks….
sumpah keren…!!!
aQ g tw harus ngomong apalagi tentang dia….
dia keren banget menurutQ..
dia orang yang berjuang atas nama kejujuran dan kebenaran…
Hok Gie… i luv yu…
Kalau Soe Hok Gie masih hidup, bisa saja menjadi sejarawan jempolan. Hal itu terbaca dalam 2 skripsinya: 1. Di Bawah Lentera Merah dan 2. Pemberontakan PKI Madiun 1948: Suatu Persimpangan Kiri Jalan. Gaya bahasa yg digunakan dalam kedua karya tersebut cukup memikat seolah-olah pembaca bisa merasakan suasana zaman itu. Zaman dimana republik yg masih muda menjadi ajang pertempuran idealisme antar pendiri bangsa.
SELEPAS MAGHRIB SEBELUM ISYA’
Selepas maghrib sebelum isya’
Sebelum bara kayu padam nyalanya
Sebelum asap-asap terbang kelangit
Aku berjanji padamu
Selepas maghrib sebelum isya’
Seiring senja berganti malam
Aku berjanji padamu
Atas nama ruang dan waktu
Selepas maghrib sebelum isya’
Aku berjanji padamu
Aku akan datang
Sebelum kau nyanyikan bait terakhir lagu kita
……..A t a s n a m a r u a n g d a n w a k t u
Aku berjanji padamu
diatas, adalah salah satu karya puisi saya. kunjungi blog saya : http://the-budhist.blogspot.com
saya malah menyukai senja di pantai…
kalo di gunung permasalahannya adalah jarang banget ke sana dan dingin 😦
Kangen Pangrango .. Kangen mandalawangi .. Salam Rimba .. Dan salam hangat semua ..